Sewaktu berselancar di lini masa Instagram yang makin lama makin menjemukan, saya menemukan sebuah kutipan, “Jangan merasa tua. Sesungguhnya senja belum tiba, namun telah kau redupkan sendiri mataharimu.”
Anjing benar, pikir saya.
Sewaktu berselancar di lini masa Instagram yang makin lama makin menjemukan, saya menemukan sebuah kutipan, “Jangan merasa tua. Sesungguhnya senja belum tiba, namun telah kau redupkan sendiri mataharimu.”
Anjing benar, pikir saya.
Lahir, besar, dan masih tinggal di kota kecil hingga detik ini, membuat kami punya bayangan sendiri tentang kota-kota besar.
Saat tengah cangkruk beberapa malam lalu, sahabat saya, Andry, tiba-tiba berkata ingin segera lulus kuliah dan meninggalkan Malang. Saya tak terkejut karena kami berkali-kali membicarakan hal yang sama. Dalam benak yang gamam, saya juga menyimpan keinginan serupa. Malang, bagi kami yang berusia tanggung saat ini, seakan jadi lagu yang diputar on repeat dan perlahan membuat kami mati kebosanan.
[Spoiler alert: Twenty-Five Twenty-One]
Memahami orang tua mungkin merupakan pekerjaan paling membingungkan bagi seorang anak. Kau berusaha mengerti, tapi kau jauh lebih ingin dimengerti. Kau sadar mereka telah banyak menderita, tapi bukankah hatimu diam-diam juga menyimpan banyak luka kecil?
nyala terang, terus benderang
yang telah lalu, sirna sudah
nyala terang, terus menerjang
dan cahaya, semakin terang
Lamunan panjang tiba-tiba membawamu menuju peristiwa tujuh atau delapan tahun lalu, ketika kau masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kau, secara acak, memang sering melempar pikiranmu ke satu titik tertentu di belakang, sampai-sampai tertambat pada celah yang mungkin orang lain hanya melintas di atasnya bak retakan trotoar.
Bentang ruang yang nyaris setiap hari kususuri ini boleh jadi telah ada sejak Tuhan menciptakan alam semesta, tapi sungguh, sependek umurku, aku telah melihatnya gonta-ganti rupa. Aku melihatnya dari lengang bersahaja, lantas jadi permata tersembunyi yang seakan-akan patut dilirik seluruh mata, hingga kini berjajar ingar bingar dalam lubuknya.
Jika terdapat orang di sekitar Anda yang mengaku begitu mencintai hujan, sesekali ajaklah ia berkemah di hutan. Bilang saja untuk bersenang-senang. Nanti, kalau hujan turun, mungkin kita akan mengetahui seberapa teguh perasaannya. Apakah hujan masih menjadi sesuatu yang ia cintai; usai sekujur badannya kuyup, selepas kakinya terpeleset lumpur licin, atau sesudah mengetahui isi ranselnya porak poranda.
Setiap kali menatap layar untuk menulis sesuatu, alih-alih mulai mengetik, saya seringkali membayangkan banyak hal terlebih dahulu. Ah, saya akan membuka tulisan dengan ciamik, layaknya Dea Anugrah. Lalu, saya akan menjelma Agustinus Wibowo, yang bercerita dengan magis sepanjang tulisan. Lantas, saya akan membuat pembaca berkata, “Gila!” ketika sampai di ujung tulisan saya, sebagaimana orang-orang selepas membaca karya Eka Kurniawan.
Sejak SMA, saya cukup sering membaca tulisan-tulisan yang ada di situs The Player’s Tribune, sebuah platform bagi para atlet profesional untuk membagikan kisah secara langsung dengan para penggemar olahraga. Waktu itu, saya begitu takjub dengan atlet-atlet yang tidak hanya cemerlang dalam berkompetisi, tetapi juga dalam menuliskan berbagai hal menarik—yang ada di dalam maupun luar lapangan.
Di salah satu kelas yang saya ikuti pada semester yang memilukan kemarin, terdapat seorang dosen yang konsisten menitipkan sebuah pesan sederhana pada nyaris tiap sesi akhir kuliah daring. “Tetaplah hidup, teman-teman,” ujar beliau dengan senyum mengembang, “semoga kita masih akan bertemu di masa yang akan datang.”
Begitu banyak wadah dalam menuangkan pikiran dan perasaan, tak terkecuali tulisan. Sebagaimana kita ketahui bersama, tulisan pun terdiri dari beragam bentuk dan jenis, salah satunya puisi. Jika kita cek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puisi berarti “ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait”. Namun, menurut saya, definisi ini ‘ditantang’ oleh perkembangan zaman dan arus teknologi informasi dewasa ini. Puisi-puisi tak lagi lahir hanya dari mesin ketik dan terbatas pada harmonisnya irama, kepaduan rima, atau rapinya bait. Dalam platform yang begitu beragamnya, karya puisi mengejawantah berbagai bentuk: divisualisasikan dengan gambar, termaktub dalam takarir, teruntai dalam utas cuitan, dan lain sebagainya.
“Terimalah bahwa dirimu memang biasa-biasa saja.”
Belakangan ini, saya sering memikirkan kalimat tersebut di kepala. Entah datangnya dari mana. Saya semacam menyadari sesuatu, setelah melihat kembali apa yang telah saya alami dan apa yang saya miliki—sejauh ini.
“Anak-anak baru punya gelar alumni SD, SMP, dan SMA. Kamu punya satu gelar alumni lebih banyak,” kurang lebih begitu arti celetukan seorang kawan di tongkrongan, beberapa waktu lalu.
Ya. Saya memang alumni COVID-19, alias penyintas.
“Potong rambut, dong!”
Kalimat di atas, ataupun kalimat-kalimat lain yang bernada sejenis, terdengar akrab di telinga saya selama kurang lebih dua tahun terakhir. Datangnya bisa dari mana saja: keluarga, saudara, teman; entah yang setiap hari bertemu maupun yang tak pernah bersua. Beberapa mengiringinya dengan candaan, beberapa lainnya sekaligus melakukan ‘penilaian’. Tidak, saya tidak mengambil hati. Itu hanyalah hal yang memang dilakukan orang-orang.
“Ini duit sisa seratus ribu. 20 ribu buat rokok, 30 ribu buat ngopi, sisanya buat makan.”
Jika anda punya teman yang sering bercerita hal kecil seperti berapa jumlah uang di dompetnya, dan kebetulan teman tersebut adalah seorang perokok, maka mungkin anda akan menemukan celetukan seperti itu. Detail pengeluarannya pastilah berbeda, namun saya rasa kata ‘rokok’ bisa erat dengan hal keuangan seseorang. Saya membicarakan ‘uang rokok’ tidak dalam arti “uang yang diberikan sebagai persen, hadiah, balas jasa, dsb” (terima kasih wiktionary), tetapi sebagai bagian dari pengeluaran pribadi seseorang itu.
“Sebagaimana janji Tuhan, bersama kesulitan pasti ada kemudahan.”
Kalimat itu yang akhir-akhir ini terpikirkan oleh saya, entah di tengah-tengah kuliah daring, saat membaca berita di koran, ataupun ketika melamun menjelang tidur. Bukannya sok religius, tetapi memang kita tengah berada di saat-saat yang berat. Aktivitas tidak normal, ruang gerak terbatas, uang saku juga terhambat—hehehe. Keadaan seperti ini menempatkan semua orang kepada kesulitan. Alangkah kurang ajarnya apabila ada pihak yang memanfaatkan situasi ini, alias mencari keuntungan pribadi. Tapi saya tidak akan membicarakan soal bangsat-bangsat itu, tindakan mereka sudah tercela tanpa perlu dibahas ulang.