pembenci benci kebencian
beristri pembenci yang
mengandung benci dan
beranak pembenci yang
mewariskan benci
babi.
Februari 2021
pembenci benci kebencian
beristri pembenci yang
mengandung benci dan
beranak pembenci yang
mewariskan benci
babi.
Februari 2021
akulah cinta yang buta muasal,
datangku terseret roda berputar
mencumbu waktu yang melekat pada aspal
akulah cinta, lantang mengetuk pintu alam sadar,
memegang kendali alam mimpi
datang dan pergi kuiringi
hingga yang benar tetap kembali
akulah cinta yang mengajukan tanya,
mengapa?
hadirku merangkai tiada dan ada
salah dan benar
tidak dan iya
akulah cinta, lugas memisah harap dan nyata,
tak mekar akibat memar
pergiku larut dalam air tenang,
entah semalam, entah sewindu
akulah cinta yang terikat syarat
membentang dalam sekat-sekat
menguap menghujan sepanjang alir hayat
Februari 2021
Pandemi mengubah berbagai sendi kehidupan. Tak terkecuali pendakian gunung. Banyak jalur pendakian ditutup berbulan-bulan, bersamaan dengan raga yang tak banyak digerakkan. Karena situasi yang serba tidak pasti, tak heran jika timbul kejenuhan.
Tak ada hujan kala pagi, rintik berisik enggan menjadi
Tak ada gerimis siang tadi, matahari nyaman berseri
Tak ada badai di sore hari, gemuruh petir melangkah pergi
Tak ada sesal menyambut pagi, malam muram telah mati
Januari 2021
“Anak-anak baru punya gelar alumni SD, SMP, dan SMA. Kamu punya satu gelar alumni lebih banyak,” kurang lebih begitu arti celetukan seorang kawan di tongkrongan, beberapa waktu lalu.
Ya. Saya memang alumni COVID-19, alias penyintas.
untuk September
Manakala bungah, jangan buang waktu percuma
Jauh di sanalah keniscayaan
Tentang desir angin dalam sesak
Dan pijar saat pikir membeku
Manakala lelah, pejamkanlah mata sebentar
Tak selamanya raga harus terjaga
Sebab terang pun tak menanti petang
Dan tanah akan tetap bertemu hujan
Manakala gundah, bongkar kembali persemayaman itu saja
Di dalamnya ada rumah
Meski sekadar untuk singgah
Tapi tak secuil pun berubah
September 2020
di balik daun pintu yang menguncup, terkulai isi kepala yang meletup, seiring harapan hidup yang mulai redup. pukulan badai tak kunjung surut. denting detik merangkai kemelut, tak membiarkan damai menyambut.
di atas pembaringan yang tak nyaman, tergolek raga yang kesakitan, entah berapa waktu lagi mampu bertahan. usai sepanjang hari dipaksa bersembunyi, yang terasa hanya perih; pun senyuman beralih menjadi rintih.
di dalam hati yang lelah, terselip doa berserah, bahkan mungkin menyerah. semoga pagi esok tak berkabut, dan penderitaan ini dicabut—atau hidupku saja yang direnggut. ia tak lagi meredam lara; ia berteriak tanpa suara. pun dunia di luar berdesing, tak ada manusia tahu ia bising. tapi, Tuhan lebih dekat dari denyut jantung. istirahatlah, hari esok harus disambung.
di luar pintu yang terbuka, berputar lagi roda hidup yang melaju sekenanya. berdiri pula tubuh yang sebelumnya lemah, dan gurat tawa yang susah payah. kaki harus terus menderap, dan derita tak harus diratap.
sebab, beberapa orang mengaduh saat terantuk batu. beberapa lainnya tergelak kala tertusuk sembilu
Agustus 2020
“Potong rambut, dong!”
Kalimat di atas, ataupun kalimat-kalimat lain yang bernada sejenis, terdengar akrab di telinga saya selama kurang lebih dua tahun terakhir. Datangnya bisa dari mana saja: keluarga, saudara, teman; entah yang setiap hari bertemu maupun yang tak pernah bersua. Beberapa mengiringinya dengan candaan, beberapa lainnya sekaligus melakukan ‘penilaian’. Tidak, saya tidak mengambil hati. Itu hanyalah hal yang memang dilakukan orang-orang.
siapa pula yang rela ada jeda di antara ribuan kisah kasih rindu menderu antara manusia satu dengan manusia lainnya.
siapa pula yang lega ada sekat di tengah lorong napas dan bau tanah sehabis hujan yang menghalangi jiwa raga untuk menikmati udara.
siapa pula yang gembira tatkala tawa-tawa bahagia lenyap begitu saja dilahap mala yang tak pernah berkabar perkara waktu kedatangannya.
siapa pula yang kuasa mengulur garis batas sabar tanpa mengerti adanya letak pintu keluar dari sebuah derita
Agustus 2020
bagaimana jika suatu ketika,
edelweis tak lagi mekar di ketinggian
dan gunung-gunung rata dengan tanah
bagaimana para penakluk tebing-tebing itu
akan menemukan keabadian?
bagaimana jika suatu ketika,
raga memaku diamnya
tinggal lara yang membalut jiwa
akankah bara harap kehidupan itu
tetap nyala merah terbakar?
bagaimana jika suatu ketika,
buku-buku tak lagi bercerita
kata-kata hilang maknanya
akankah yang pernah terjadi itu
tetap diam pada masanya?
bagaimana jika suatu ketika,
engkau tak lagi terjaga
dan mimpi buruk meledak
di tengah malam ku terlelap
akankah aku baik-baik saja?
Juli 2020
“Ini duit sisa seratus ribu. 20 ribu buat rokok, 30 ribu buat ngopi, sisanya buat makan.”
Jika anda punya teman yang sering bercerita hal kecil seperti berapa jumlah uang di dompetnya, dan kebetulan teman tersebut adalah seorang perokok, maka mungkin anda akan menemukan celetukan seperti itu. Detail pengeluarannya pastilah berbeda, namun saya rasa kata ‘rokok’ bisa erat dengan hal keuangan seseorang. Saya membicarakan ‘uang rokok’ tidak dalam arti “uang yang diberikan sebagai persen, hadiah, balas jasa, dsb” (terima kasih wiktionary), tetapi sebagai bagian dari pengeluaran pribadi seseorang itu.
merangkak naik di punggung gunung
memutar otak di hadapan aksara
melarikan paru-paru
mengejawantah ikan lautan dalam
menggerayangi gitar tua
melukis ulang lukisan alam raya
melampas otak tumpul
membunuh pembunuh
merasakan irama raga
mencari jati diri.
jikalau semua perihal menjadi bebas
rasanya kita sama-sama tak waras.
hanya soal apa dan siapa yang mengerti batas
Juni 2020
di bawah gelegar jembatan layang,
berkumpul raga lelah dari berbagai petak.
sementara magrib tengah mengembang,
penumpang angkot lambat-lambat buka mata yang berkerak.
dan Terminal Arjosari masih jauh dari pandangan.
sedikit lagi, pikir anak sekolah yang sampai suntuk melintas jalanan Malang.
usai juga hari ini, kata buruh pabrik rokok kepada belanjaan berisi bahan masak.
namun kursi angkutan kota masih lengang.
jika sudah penuh sesak, gerigi mesin baru mau bergerak.
dan di luar terdengar suara konser kecil-kecilan.
sekelompok remaja lusuh senandungkan nyanyian bimbang.
liriknya muntahkan pemikiran yang muak.
seorang mainkan ukulele dengan lantang,
beberapa lainnya menjemput uluran perak.
dan Malang tak bosan gaungkan kehidupan.
Juni 2020
untuk yang pernah bertahan,
selamat jalan
belasungkawa atas mampusnya tujuan
pun jangan cemas!
angkat gelas
sambut sesal dengan antusias
–dari seonggok pendusta
yang fasih merayakan derita
dengan sukacita.
Mei 2020
jalanan sepi. kota bergeliat dalam lara, denyutnya terdengar lirih.
seorang anak kecil berjalan menghampiri ibunya. “habiskan, sini,” ujar sang ibunda. si kecil lahap sekali, sementara emak gelisah makan apa esok hari.
sang ibu tiap harinya memilah sampah,
bila beruntung pejalan kaki memberi sedikit rupiah.
meski tak pernah mudah, ia tak pernah sudi mati menyerah.
tapi berapa waktu ini susah.
jangankan menerima pemberian rupiah, sampah pun ikut bersembunyi dalam rumah. kabarnya seluruh kota tengah diserang wabah.
tak terlihat, tak bersuara, namun membuat siapapun resah.
si kecil kembali menghampiri.
“ibu, makan apa lagi esok hari?”
dalam dekap sang bunda, bibirnya dituntun berdoa.
“Ya Tuhan, percepatlah kesembuhan dunia.”
jalanan masih sepi. kota tetap bergeliat dalam lara, denyutnya terdengar lirih.
April 2020
(Dimuat di Buletin Prasasti LPM Perspektif Edisi 26)